Langsung ke konten utama

Kejadian di awal tahun 2021: Aku sakit lagi?

Bagiku, 2016 merupakan tahun yang penuh dengan kenangan karena di tahun ini banyak sekali pasang surut gelombang kehidupan yang aku alami. Dalam satu tahun, aku terbang ke dua negara yang berbeda, bukan untuk bertamasya melainkan untuk berobat. Ya, dapat dikatakan tahun ini merupakan tahun "tergelap" bagi kehidupan fisikku. Mengalami penderitaan yang tak kunjung henti, keluar masuk ruang operasi, dan aku pun (dan ibuku) dituntut untuk belajar sabar. Setelah lewat tahun ini, akupun merasa aku sudah lebih dewasa karena berhasil melalui rintangan yang ada. Alhasil, siapa yang menduga gelombang dua penderitaan kini muncul kembali?

Ya, ternyata selang 5 tahun, arus penyakit lainpun tiba di hidupku. Tepat satu tahun setelah tahun Covid-19... 2021 adalah tahun penuh harapan bagi banyak orang, tidak asing terdengar dimana-mana bahwa kita semua mengharapkan perubahan. Sudah cukup menderita karena Covid sepanjang tahun 2020. Akan tetapi, tentunya tidak semua harapan kita berjalan semulus jalan tol, tetap saja ada berita duka dimana-mana, dan itu pun terjadi padaku.

Tulisan yang kutuliskan di bawah ini tidak bermaksud untuk bersungut-sungut, melainkan karena aku lelah dan ingin mencatatnya sekarang, supaya kelak aku (atau orang lain) dapat mengenang kembali pengalaman pahit yang berharga ini, pengalaman yang berperan dalam hidupku, pengalaman unik yang tak terlupakan... Jadi beginilah ceritaku di awal tahun 2021 ini...

Januari 2021

Pada minggu kedua Januari, aku sedang sibuk2nya dengan UAS di kuliah semester 7 ku ini. Akhirnya ke hectic an semester ini pun bisa berlalu, aku ga sabar untuk LIBURAN! Perasaan senang dan relieve pun datang menghampiriku. Namun, selang berapa lama, aku sadar ada perubahan yang terjadi pada tubuhku, terutama pada kakiku. Awalnya hanya kesemutan di jempol kaki kanan, saat itu aku mengira bahwa ini efek cuaca yang sangat dingin (karena memang winter minggu itu teramat dingin). 'Yaa.. nanti juga hilanglah', begitulah pikirku. 

Minggu pertama berlalu, minggu kedua pun berlalu. Hingga tiba minggu ketiga, aku merasa ada perasaan mengganjal dengan kondisi fisikku, aku pun mulai panik dan bertanya pada sepupuku yang berprofesi sebagai dokter. Ia menyarankan aku untuk pergi melihat dokter pembuluh darah atau dokter saraf. Saat itu aku masih optimis bahwa mungkin kesemutan kakiku ini disebabkan karena penyempitan pembuluh darah. Dengan optimisnya aku pun pergi melihat dokter pembuluh darah. 

Februari 2021

Aku pergi ke Taoyuan Armed Forces General Hospital, tempat teman ibuku bekerja sebagai perawat. Aku bersyukur karena diberikan kemudahan dan kelancaran dalam datang melihat dokter. Namun yang membuatku kesal adalah sistem dan prosedurnya yang cukup memakan banyak waktu. Bayangkan, aku harus menunggu satu minggu untuk baru bisa melakukan pengecekan pembuluh darah dan untuk melihat dokter kedua kalinya. Satu minggu terbuang tanpa mengetahui bahwa kondisiku akan memarah drastis. Tepat satu minggu setelah pertemuan pertama dengan sang dokter, akupun kembali untuk melakukan pemeriksaan dan bertemu dokter pada hari yang sama. Alhasil, dokter berkata bahwa tidak ada masalah dengan pembuluh darahku. 

Akupun panik, bukan lega. Mengapa? karena aku merasa tidak nyaman dengan kakiku, dan aku takut bisa mengganggu sensor motorikku ini. Akhirnya, akupun memutuskan untuk melihat dokter saraf. 

Jujur, sungguh menjengkelkan karena sang dokter pembuluh darah tidak berinisiatif merekomendasikan aku untuk melihat dokter saraf, justru aku yang berinisiatif dan bertanya padanya. 

Hanya selang 4 hari untuk melihat dokter saraf, tapi kondisi kaki kian memburuk setiap harinya. Selama 4 malam aku sulit tidur dan merasa gelisah, karena sakit (sakit seperti kesetrum, kesemutan, kebal). Ketika aku bertemu dokter pada hari senin, ia menyuruhku untuk mencoba test saraf dan melihat hasilnya satu minggu berikutnya. Namun, di malam itu kakiku kembali sakit dan benar-benar tidak kuat lagi... Aku frustrasi dan meminta pertolongan Tuhan. Dengan gegabah aku mulai membereskan barangku dan ingin sekali pulang ke Indonesia, dengan segera... Namun sepertinya Tuhan punya rencana lain bagiku... 

Keesokan harinya, di hari selasa, aku kembali ke dokter saraf yang kedua (dokter yang berbeda). Suasana sungguh pecah dan aku pun menangis dalam ruangan dokter karena aku merasa frustrasi dengan pandangan dokter yang berkata "keadaan kamu masih tidak parah banget". APA?! sementara aku sudah menderita dan tidak bisa tidur selama 4 hari dan dengan ringannya ia berkata "tidak parah banget". Karena kesal, frustrasi, kesakitan, campur aduk, akupun menangis... 

Singkat cerita, dokter memberiku obat dan menyarankanku untuk tidur di kasur yang lebih empuk. Well, strategi ini berjalan selama satu minggu, tapi ketika mulai masuk minggu kedua, rasa sakit itupun mulai kembali menghantuiku, hingga saat ini. (karena libur CNY, aku harus menanggung penderitaan ini selama 2 minggu, sungguh melelahkan dan rasanya ingin menyerah)...

Di minggu kedua, aku mencoba alternatif lain, yaitu akupuntur. Temanku (bu Riana) memperkenalkanku pada teman gerejanya yang di Taipei dan ternyata ia adalah seorang cici muda yang ahli dalam Chinese Medicine, namanya Apple. Aku pun mencoba melakukan akupuntur sebanyak 2x dengannya. Setelah melangsungkan akupuntur, rasa nyerinya berkurang tapi itu hanya bertahan beberapa jam karena pada malam hari rasa sakit itu kembali muncul. 

Hingga akhirnya di pertengahan minggu itu, kakiku benar2 sakit dan aku tidak kuat menahannya... Rasanya ingin sekali langsung dirawat di IGD, tapi aku mempertimbangkan kesehatan ginjal dan tubuhku. Jika aku dirawat di IGD tapi tidak ada dokter spesialis saraf, apa faedahnya? Adanya hanya menambah pasokan obat painkiller untuk diasumsi oleh tubuhku. Bagaimana jika dosisnya nanti semakin bertambah dan aku menjadi kecanduan? aku lelah... Akhirnya, aku memutuskan untuk disuntik painkiller di klinik tulang (memang agak random, tapi aku benar2 mencoba segala macam cara dan mencari solusi yang ada; bahkan aku sampai pergi ke dokter auto-immune untuk test darah)... 

Sungguh perjalanan cerita yang melelahkan. Akupun merasakan rasanya ketika tubuh dan pikiranmu lelah tapi kamu tidak bisa beristirahat karena tubuhmu yang setengah lagi tidak mengizinkanmu untuk beristirahat... Aku lelah dan tidak jarang tangisan itu pecah di malam hari (atau lebih tepatnya subuh)... 

Walau aku harus merasakan penderitaan ini, tapi aku tetap belajar untuk semakin bersyukur karena nyatanya, Tuhan itu baik. Jesus do cares... Selama dua minggu ini, tidak ada satu haripun aku lalui dengan merasa kesepian, apalagi di minggu pertama. Benar-benar Tuhan kirimkan teman-teman untuk menemani dan menghibur kesulitanku ini, dalam satu minggu itu, tidak ada satu hari tanpa dikunjungi teman. I am amazed as well... Bahkan hari-hariku ketika sakit rasanya lebih rame dibandingkan hari-hariku saat normal... 

Anyway, alhasil akupun tidak jadi pulang ke Indonesia dan ibuku yang berkorban dan terbang sampai ke Taiwan... Saat ini ia sedang menjalankan proses karantina 14 hari di sebuah guest house daerah Toayuan. Lagi-lagi aku benar2 bersyukur memiliki ibu seperti beliau, seorang ibu yang juga adalah seorang teman bagi putrinya, the real support system that i ever had in my life. 

Sejujurnya, pengalaman sakit kali ini tidaklah menyenangkan, tapi kalau boleh jujur, aku merasa berkat dan anugerah yang Tuhan berikan melebihi penderitaan yang aku alami... Tuhan tahu semua kesulitanku, betul tidak bisa dipungkiri bahwa aku sering menangis ketika tidak ada orang lain, merasa frustrasi khawatir dan takut secara bersamaan. Siapa yang akan menyangkan aku, di usiaku yang ke 22 ini, akan menderita penyakit aneh ini... Namun, Tuhan tidak henti-hentinya mendengar doaku dan menjawab kekhawatiranku dengan berbagai cara yang unik... Dengan mengirimkan teman dan keluarga sebagai support system terbaik dalam proses pemulihanku, serta kenyamanan dan kecukupan yang ada. Tuhan itu baik. 

Akhirnya penantianku berakhir besok... Akupun bisa melihat dokter setelah penantian 2 minggu... Bukan hanya senang tapi juga khawatir, tapi bagaimanapun juga, aku harus siap dengan segala diagnosis yang ada, dengan begitu aku baru bisa lanjut ke langkah yang berikutnya. 

Jujur, ketika aku khawatir, aku rasanya ingin berdoa supaya aku segera kembali, tapi di sisi lain aku juga berdoa meminta kekuatan dari Tuhan. Kalau memang Tuhan masih mengizinkan aku untuk hidup satu hari lagi, maka pasti ada sesuatu yang dapat aku kerjakan, untuk menjadi berkat bagi orang lain... Memang betul hidup itu tidak pernah mudah, selalu penuh dengan rintangan; rintangan yang memroses kita menjadi manusia dewasa yang lebih utuh dan matang di dalam Kristus. Karena hidup itu pilihan, maka aku memilih untuk berjuang dan tidak menyerah.

SEMANGAT! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rabu, 09 Juni 2021 "Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha" - Jerome Polin Akhir-akhir ini aku suka sekali menonton YouTube Jerome Polin, dan dalam minggu ini baru saja kesampean membaca buku yang menceritakan kisah hidupnya berjudul "Mantappu Jiwa". Dari bukunya aku belajar bahwa hidup itu ga pernah mudah dan Jerome adalah seorang pemuda yang gigih berjuang dan pantang menyerah, ia juga selalu membawa seluruh usahanya di dalam doa kepada Tuhan. Salah satu quotes yang aku suka dari bukunya yaitu: Seperti kata orang banyak jalan menuju ke Roma, berarti banyak juga jalan menuju kesuksesan. Namun ternyata Roma yang kita tuju belum tentu Roma yang Tuhan maksud." Setelah membaca sebagian dari bukunya dan setiap kali menonton videonya, aku selalu termotivasi untuk bangkit lagi. Bersyukur karena Tuhan bangkitkan orang yang humble seperti Jerome Polin.  Pada hari ini, tanggal 09 Juni 2021 aku mau cerita sedikit tentang health condition ku. Kemarin genap 3 bulan aku me

Jakarta + hujan deras = ...

Sebuah peristiwa yang sulit membuatku belajar banyak hal... Senin, 9 Februari 2015                Sebuah peristiwa 2 tahun yang lalu pun terulang. Hujan deras kembali mengguyur kota Jakarta yang ramai ini. Jalan raya yang awalnya kering, kini terlihat seperti sungai yang mengalir. Sungai itu tidak lain adalah banjir. Ketika banjir, aku bisa melihat berbagai macam ekspresi orang. Ada yang senang, ada pula yang menggerutu, tapi ada juga yang tetap bersyukur. Peristiwa ini juga membuatku bisa belajar dan merefleksikan banyak hal...                Pagi itu aku masuk sekolah. Hujan deras terus turun membasahi jalan. Awalnya, aku mengira bahwa hanya sedikit dari kami yang masuk, tapi ternyata dugaanku salah. Pelajaran berlalu seperti biasa. Namun, ketika hujan tidak henti-hentinya turun dengan deras, banyak dari kami yang bersemangat untuk pulang. Sebetulnya aku bingung dengan tindakan mereka. Jika memang bersemangat untuk pulang, untuk apa masuk sekolah? Lagipula bukankah mereka ta